Haji mabrur berarti haji yang baik atau mendatangkan kebaikan
bagi pelakunya. Di kalangan ulama, diungkapkan kalau haji mabrur itu ialah haji
yang tidak dicampuri atau dinodai oleh dosa-dosa. Ini mengandung makna bahwa
berbagai kebaikan ibadah haji yang diperoleh oleh para hujjaj itu telah
membentengi diri mereka dari dosa-dosa dan berbagai tindakan kejahatan.
Berkait dengan itu, Imam Nawawi, mengungkapkan bahwa haji mabrur adalah
haji yang buah atau hasilnya tampak jelas bagi para pelakunya. Buah haji itu,
tak lain menguatnya iman dan meningkatnya ibadah serta amal saleh dalam arti
yang seluas-luasnya. Dengan demikian, maka keadaan hujjaj itu setelah
menunaikan ibadah haji jauh lebih baik dari keadaan sebelumnya.
Melanggengkan
Nilai Kemabruran Haji
KAUM Muslim yang sudah melaksanakan ibadah haji, tentunya kita harapkan menjadi
haji mabrur. Doa ini penting kita panjatkan karena semua jamaah haji tentu
mendambakan haji mabrur. Harapan dan keinginan mendapatkan haji mabrur dapat
dipahami, karena bukankah pengampunan dan surga Allah menjadi balasan dan
imbalannya. Nabi Saw bersabda, Haji yang mabrur tak ada balasan lain kecuali
surga. (HR. Bukhari dan Muslim).
Mereka yang telah menggapai haji mabrur, tentu akan memancarkan berbagai
kebaikan sosial dalam kehidupan kesehariannya, diantaranya, ialah memiliki
peningkatan rasa persaudaraan di antara umat, karena saling berkenalan dan
berkomunikasi dengan jamaah haji dari segala penjuru dunia, menumbuhkan rasa
hormat menghormati dan mengalahkan rasa rendah diri, karena di sanalah jamaah
haji akan menyadari kesamaan derajat di hadapan Allah SWT.
Selain itu, kemabruran ibadah haji juga ditandai oleh tanggung jawab dakwah
Islamiyah yang tinggi, baik bil lisanil hal maupun bil
lisanil maqal. Hal ini sesuai pesan Rasul saat haji Wada’, yaitu
supaya setiap yang hadir wajib menyampaikan ajaran Islam kepada yang tidak
hadir. Demikian pula dengan tanggung jawab dalam memelihara jiwa, harta,
kehormatan dari orang lain, melindungi yang lemah baik manusia, heman dan
tumbuh-tumbuhan.
Pendeknya, haji mabrur berarti haji yang baik atau mendatangkan kebaikan
bagi pelakunya. Di kalangan ulama, diungkapkan kalau haji mabrur itu ialah haji
yang tidak dicampuri atau dinodai oleh dosa-dosa. Ini mengandung makna bahwa
berbagai kebaikan ibadah haji yang diperoleh oleh para hujjaj itu telah
membentengi diri mereka dari dosa-dosa dan berbagai tindakan kejahatan.
Berkait dengan itu, Imam Nawawi, mengungkapkan bahwa haji mabrur adalah
haji yang buah atau hasilnya tampak jelas bagi para pelakunya. Buah haji itu,
tak lain menguatnya iman dan meningkatnya ibadah serta amal saleh dalam arti
yang seluas-luasnya. Dengan demikian, maka keadaan hujjaj itu setelah
menunaikan ibadah haji jauh lebih baik dari keadaan sebelumnya.
Memelihara dan melanggengkan nilai keimanan
Berdasarkan pola pikir yang diungkapkan Imam Nawawi tersebut, tentu dapat
dipahami bahwa memperoleh haji mabrur merupakan sesuatu yang sulit. Namun,
sesungguhnya yang lebih sulit lagi dari itu adalah bagaimana mempertahankan,
memelihara dan melanggengkan nilai-nilai kemabruran haji itu sepanjang hidup
kita.
Oleh karena itu, kemabruran haji ini tentu perlu senantiasa dipelihara,
karena kondisi batin seseorang tidaklah tetap. Tapi sangat dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan sekitarnya. Tepatnya, suatu saat kadar iman tinggi, di lain
waktu kadar iman menjadi menurun.
Ketinggian dari nilai iman ini,
tentu banyak tantangan untuk mempertahankannya dalam kehidupan manusia.
Lebih-lebih saat ini, berbagai serbuan media dan informasi banyak yang dapat
melemahkan kekuatan iman seseorang. Artinya derajat dan tingkatan iman setiap
orang berbeda-beda. Jelasnya, fluktuasi iman seseorang itu akan terjadi setiap
saat.
Kondisi seperti itulah
yang banyak kita lupakan. Di sinilah sebenarnya perlunya upaya memperbaharui
keimanan kita setiap saat. Memperbaharui keimanan (Tajdidul Iman), diartikan
sebagai bentuk kompensasi kita ---usaha untuk mempertahankan kestabilan iman---
dan mengontrol kadar iman yang kita miliki serta meningkatkan kualitas imannya.
Untuk mencapai kondisi iman yang
relatif stabil itu, memang bukan sesuatu yang mudah. Walau demikian, bagi Allah
tentu tidak ada yang tidak mungkin, kalau cinta-Nya telah bersemayam pada diri
kita. Setidaknya ada empat usaha yang dapat membangkitkan/melanggengkan nilai
keimanan seseorang (terutama setelah menggapai haji mabrur), sehingga Tajdidul
Iman tersebut menjadi terarah.
- Pertama,
melakukan
tadabbur quran. Allah dalam Alqur’an menyebutkan apakah mereka merenungkan
Quran? (QS. 4: 82). Lalu, Allah juga berfirman (yang artinya) : “Maka
apakah mereka tidak memperhatikan Al-qur’an ataukah hati mereka terkunci.”
(QS. 47: 24). Dari perilaku tadabbur quran ini, maka pikiran kita akan
selalu merenungkan, mengkaji dan mengaplikasikan isinya, sehingga iman kita
terhadap-Nya akan selalu terkontrol pada ketentuan-Nya.
- Kedua, melakukan
tafakur alam. Allah berfirman dalam surat Ali Imran: 190-191, yang
artinya: “Sesungguhnya tentang kejadian langit dan bumi, dan pergantian
malam dan siang menjadi tanda (atas kekuasaan Allah) bagi orang-orang
berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah ketika berdiri, duduk
dan waktu berbaring; dan mereka memikirkan kejadian langit dan bumi,
(sambil berkata): Ya Tuhan kami, bukanlah Engkau jadikan ini dengan
percuma (sia-sia), Mahasuci Engkau, maka peliharakanlah kami dari siksa
neraka.”
- Kalau
kita perhatikan, ternyata ayat tersebut diakhiri dengan doa untuk
kemenagan iman, mengalahkan kekafiran, dan diakhiri pula dengan ramalan
tentang kemenangan akhir. Di sini dinyatakan pula bahwa kaum mukmin
bukanlah orang pertapa yang menyingkir ke tempat sunyi untuk berdzikir
kepada Allah, dan bukan pula orang yang hanya berusaha menaklukan alam,
tanpa berpikir tentang Tuhan dan Penciptaan alam semesta. Sebaliknya, kaum
mukmin dilukiskan sebagai orang yang mengingat-ingat Allah di
tengah-tengah kesibukan mereka dalam urusan duniawi ---sambil berdiri,
duduk dan berbaring---.
- Dengan
demikian, mereka menyadari sepenuhnya akan adanya Tuhan dimanapun dan
dalam keadaan bagaimanapun. Sebaliknya, mereka berusaha menaklukkan alam
dengan sepenuh kesadaran bahwa tak ada barang yang diciptakan itu terdapat
tujuan-tujuan tertentu. Itulah tujuan utama yang digariskan oleh Islam
bagi para pengikutnya, yaitu menaklukan diri sendiri dengan jalan berdzikir
kepada Allah, dan menaklukan alam dengan jalan menuntut ilmu pengetahuan (Muhammad
Ali: 1995). Melalui usaha ini, jelas-jelas akan meningkatkan keimanan
bagi mereka yang melakukannya.
- Ketiga,
melakukan
amal shalih. Ada tidaknya atau tinggi rendahnya iman seseorang akan dapat
dilihat dari perilakunya. Artinya perilaku seseorang akan menunjukkan
tingkat imannya. Dalam hal ini, perilaku yang dapat membangkitkan nilai
keimanan adalah berupa memperbanyak amal shalih.
- Secara
demikian, orang yang mengerjakan amal shalih adalah orang beriman yang
mengaktualisasikan keimananya berupa amal perbuatan yang jelas-jelas
dilandasi iman. Iman dan amal perbuatan itu, tidak bisa dipisahkan. Sebab,
iman menuntut adanya amal dan amal merupakan konsekuensi mutlak dari
sebuah keimanan. Sebaliknya amal menuntut adanya iman, karena amal
perbuatan tanpa dilandasi keimanan kepada Allah adalah sia-sia belaka
(tidak berguna). Oleh karena itu, besar kecilnya kadar keimanan seseorang
akan banyak ditentukan oleh jenis, kualitas dan kontinuitas amal yang
dilakukannya.
- Keempat, melakukan proteksi
terhadap perbuatan dosa. Untuk menjadikan hati bening berisi keimanan,
maka lakukanlah perbuatan-perbuatan yang terhindar dari perilaku maksiat
atau mendatangkan dosa. Hal ini didasarkan bahwa perbuatan dosa itu bisa
menyebabkan hati kita menjadi kotor. Kondisi hati yang kotor, tentu dapat
menyebabkan tertutupnya iman dan bahkan akan menenggelamkan keimanan
seseorang.
Aktivitas Tajdidul
Iman dengan cara membangkitkan nilai keimanan seperti disebut di atas,
paling tidak ia merupakan langkah yang tepat dalam menggapai posisi iman
sejati. Lebih-lebih
jalan menuju iman seperti disebut di awal, benar-benar telah dipenuhi dan
diaplikasikan dalam hidup keseharian.
Akhirnya,
kita hanya memohon kepada Allah SWT, semoga kita diberi ilmu dan kemampuan
usaha berbuat Tajdidul Iman pada setiap saat, lebih-lebih bagi mereka
yang telah memperoleh predikat haji mabrur. Sehingga diharapkan aktivitas ini
akan meningkatkan iman kita menuju terwujudnya iman sejati yang sesuai dengan
harapan-Nya. Amin.***
Bagaimana menurut Anda?
Arda Dinata, pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam/ MIQRA Indonesia, www.miqraindonesia.com