MANUSIA DAN LINGKUNGAN: Kunci Atasi Masalah Kesehatan Lingkungan
Tingkatkan Edukasi Pengelolaan Sampah, Kunci Atasi Masalah Sampah di Kabupaten Banyumas
Oleh: Sri Sutarsiyah
(Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Jenderal Soedirman)
Apa itu sampah? Sampah ialah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau
proses alam yang berbentuk padat. Berdasarkan pengelolaannya, sampah dibagi tiga, yaitu sampah
rumah tangga
(SRT), sampah sejenis
rumah tangga
(SSRT), dan sampah
spesifik. Sampah spesifik itu merupakan sampah yang
karena sifat, konsentrasi dan/atau volumenya memerlukan pengelolaan khusus.
Pengelolaan
sampah sendiri diartikan sebagai kegiatan sistematis,
menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi
pengurangan dan penanganan sampah. Masalah sampah ini merupakan hal yang harus ditangani secara
optimal. Apalagi, seiring
bertambahnya jumlah penduduk maka bertambah pula volume sampah yang dihasilkan.
Dengan arti lain, berdasarkan tingginya
jumlah penduduk berpengaruh terhadap besarnya volume sampah rumah tangga yang dihasilkan.
Sampah rumah tangga dihasilkan oleh penduduk yang memiliki berbagai macam aktivitas.
Seperti diberitakan detikcom (07/01/2019), produksi
sampah di Banyumas mencapai 600 ton per hari. Biasanya, sampah-sampah itu
diambil petugas lalu dibuang ke 3 tempat pembuangan akhir (TPA). Mulai 2019
warga diminta mengelola sendiri. Warga yang mengaku tidak paham caranya justru
membuang sampah sembarangan. Pemkab mengeluarkan Surat Edaran Bupati
Banyumas No 660.1/7776/2018 tentang pengelolaan sampah dari sumbernya.
Kebijakan itu berlaku mulai 2 Januari 2019. Warga diharapkan memilah sampah,
memanfaatkan yang masih bisa dipakai dan memusnahkan sendiri yang tidak
terpakai.
Lebih jauh, keberadaan sampah ini merupakan salah satu penyebab rusaknya
lingkungan kota ataupun desa bila tidak
dikelola dengan baik. Keberadaan masalah sampah
ini tidak dapat lepas dari kehidupan dan
lingkungan manusia. Hal ini dapat terjadi karena masalah sampah sangat
berkaitan erat dengan kehidupan manusia. Manusia yang hidup dalam suatu
lingkungan pasti menghasilkan sampah yang
bersumber dari
kegiatan konsumsinya sehari-hari.
Kebijakan Pengelolaan Sampah
Dewasa ini, upaya pemerintah
dalam mengatasi masalah persampahan patut diberikan apresiasi. Sebab, pemerintah pusat
dan daerah saling bersinergi dalam mengentaskan
masalah sampah ini. Hadirnya, kebijakan tentang pengelolaan sampah yang ada di tiap daerah berusaha diterapkan
dan diimplementasikan kepada masyarakat. Bentuk nyata yang dilakukan pemerintah ialah dengan membangun sarana dan prasarana persampahan untuk menunjang terlaksananya
kebijakan tersebut.
Pada konteks Pemerintah Daerah Kabupaten
Banyumas, prasarana yang dibangun untuk terlaksananya penanganan sampah dengan metode 3R (reduce,
reuse,
dan recycle), berbasis masyarakat, dan lingkungan ini berupa pusat daur ulang (PDU) untuk perkotaan, TPS 3R dan TPST 3R di tiap wilayah yang disebut
hanggar (kata
hanggar diadopsi dari TPST yang ada di Kota Malang). Hanggar ini membantu pemerintah dalam pengurangan dan penanganan
sampah skala wilayah.
Adapun, sistem penanganan yang dilakukan di hanggar
TPS 3R itu adalah pengumpulan, pemilahan, penggunaan
ulang, dan pendauran ulang skala kawasan. Sedangkan hanggar TPST 3R (tempat pengolahan
sampah terpadu)
adalah tempat dilaksanakannya kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan
ulang, pendauran ulang, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah.
TPST
3R itu diharapkan
mampu menangani sampah di tiap wilayah
sampai habis (zero waste). Lebih jauh, keberadaan hanggar-hanggar itu diharpkan
mampu menurunkan volume sampah yang ada di TPA (tempat
pemrosesan akhir) sampah. Sehingga, dengan berkurangnya volume sampah di TPA tersebut, maka akan membantu pemerintah dalam mencapai tujuan dari kebijakan dan strategi
dalam pengelolaan sampah, baik pada level nasional (Jakstranas),
provinsi dan kebijakan
dan strategi daerah (Jakstrada).
Untuk memudahkan pelaksanaan penanganan sampah, Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas mengeluarkan kebijakan terkait pelimpahan wewenang kepada wilayah desa
dalam pengelolaan sampah. Namun, saat ini masih
belum banyak diimplementasikan.
Untuk itu, keberadaan TPS 3R atau TPST
3R yang sudah dibangun pemerintah
daerah diharapkan
dapat menjadi contoh bagi wilayah desa lainnya dalam
menangani sampah, sehingga membantu pemerintah
daerah dalam mencapai tujuan dari Jakstrada
dalam pengurangan dan penanganan sampah.
Saat ini, jumlah TPST 3R yang sudah terbangun di
Kabupaten Banyumas ada 11 hanggar
atau unit. Dari jumlah tersebut, ternyata
masih kurang untuk menangani sampah yang ada di Kabupaten Banyumas. Padahal, keberadaan peran setiap wilayah
dalam membantu pengurangan dan penanganan sampah sangat penting. Apabila suatu wilayah
tidak peduli dengan sampah yang dihasilkan di wilayahnya, maka akan menimbulkan
dampak yang dapat mengurangi kebersihan, keindahan,
dan kesehatan lingkungan. Sehingga ada masyarakat yang melakukan pembuangan
sampah di sembarang tempat, seperti sungai, saluran irigasi, lahan kosong,
pinggir jalan, dan tempat lainnya.
Kondisi seperti itu bisa terjadi dikarenakan kurang
pekanya wilayah dalam menangani sampah. Padahal sesuai amanat yang tercantum dalam pasal 18 ayat (1) Peraturan
Daerah Kabupaten Banyumas No. 9 tahun
2020 tentang perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten
Banyumas No. 6 tahun
2012 tentang pengelolaan sampah
disebutkan bahwa pemilahan
sampah dilakukan oleh setiap orang pada
sumbernya. Isi pasal
tersebut, sepertinya
masih belum banyak di pahami oleh
masyarakat. Dampak lebih lanjut terjadi pada program bank sampah
yang bertujuan mengedukasi masyarakat untuk memilah sampah itu, pada akhirnya mulai menurun eksistensinya.
Dalam arti lain, keberadaan TPS 3R
atau TPST 3R yang ada di wilayah-wilayah dan dibangun pemerintah daerah
dengan tujuan mengurangi dan menangani sampah rumah tangga dan sampah sejenis
rumah tangga itu, sepertinya masih belum optimal. Namun, efektivitas sudah dapat mengurangi
timbulan sampah skala hanggar. Sehingga keberadaan TPS3R atau TPST3R tersebut ikut berkontribusi dalam pencapaian
Jakstranas, Jakstrada provinsi
dan Kabupaten Banyumas, yaitu pengurangan sampah sebanyak 30% dari timbulan
sampah.
Permasalahan sampah lainnya, saat ini muncul adanya jasa pengangkutan sampah yang tidak berizin (illegal). Yakni, dengan sistem operasional angkut dari sumber dan buang langsung ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Hal ini, tentu ikut berkontribusi dalam menaikan volume sampah di TPA dan menjadi masalah baru dalam pengelolaan sampah.
Dengan kata lain, saat pemerintah melakukan pengurangan sampah di TPA, di sisi lain ada sekelompok jasa angkutan sampah yang menambah volume sampah di TPA secara ilegal. Inilah permasalahan sampah yang sangat kontra. Untuk itu, pemerintah harus melakukan penertiban jasa pengangkutan sampah ini. Tepatnya, perlu memberikan pembinaan tentang pengelolaan sampah yang baik dan mengarahkan untuk bekerjasama dengan TPST 3R, sehingga pemerintah tidak melakukan pembiaran terhadap jasa pengangkutan tersebut.
Edukasi Pengelolaan Sampah
Walau Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas telah memberikan edukasi lewat program di bidang pendidikan
(Adiwiyata) dan masyarakat (Bank Sampah, Salinmas
dan Jegnyong), tapi masih
ada masyarakat yang belum paham akan
pentingnya memilah sampah dari sumbernya. Seharusnya masyarakat berpikir secara
bijak dalam mengelola sampah itu.
Menyikapi permasalahan pengelolaan sampah tersebut, maka
perlu peningkatan program edukasi tentang pentingnya pendidikan lingkungan hidup kepada masyarakat untuk memilah
sampah dari sumbernya yang harus
diberikan secara kontinyu. Apalagi, selama
ini edukasi
yang sudah disampaikan di sekolah, perguruan tinggi, kantor,
komunitas dan masyarakat itu setidaknya
telah membantu pemerintah
dalam pembangunan berkelanjutan
(khususnya pengelolaan
sampah).
Untuk itu, harus ditanamkan dalam pikiran masyarakat kalau
tujuan pengelolaan sampah itu,
tidak lain supaya sampah memiliki nilai
ekonomi atau merubahnya menjadi bahan yang tidak membahayakan lingkungan.
Dengan melakukan pengelolaan sampah rumah tangga yang benar, maka dapat membantu menekan dampak negatif
sampah terhadap lingkungan.
Akhirnya,
harus diingat ungkapan berikut, “Sampahmu tanggungjawabmu dan sampahku tanggungjawabku”. Jadi, mari kendalikan sampah dari sumbernya agar
program reuse,
reduce, dan recycle dapat berhasil
dengan baik di Kabupaten Banyumas.***
Oleh: Sri Sutarsiyah
(Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Jenderal Soedirman)
Apa itu sampah? Sampah ialah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau
proses alam yang berbentuk padat. Berdasarkan pengelolaannya, sampah dibagi tiga, yaitu sampah
rumah tangga
(SRT), sampah sejenis
rumah tangga
(SSRT), dan sampah
spesifik. Sampah spesifik itu merupakan sampah yang
karena sifat, konsentrasi dan/atau volumenya memerlukan pengelolaan khusus.
Pengelolaan
sampah sendiri diartikan sebagai kegiatan sistematis,
menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi
pengurangan dan penanganan sampah. Masalah sampah ini merupakan hal yang harus ditangani secara
optimal. Apalagi, seiring
bertambahnya jumlah penduduk maka bertambah pula volume sampah yang dihasilkan.
Dengan arti lain, berdasarkan tingginya
jumlah penduduk berpengaruh terhadap besarnya volume sampah rumah tangga yang dihasilkan.
Sampah rumah tangga dihasilkan oleh penduduk yang memiliki berbagai macam aktivitas.
Seperti diberitakan detikcom (07/01/2019), produksi
sampah di Banyumas mencapai 600 ton per hari. Biasanya, sampah-sampah itu
diambil petugas lalu dibuang ke 3 tempat pembuangan akhir (TPA). Mulai 2019
warga diminta mengelola sendiri. Warga yang mengaku tidak paham caranya justru
membuang sampah sembarangan. Pemkab mengeluarkan Surat Edaran Bupati
Banyumas No 660.1/7776/2018 tentang pengelolaan sampah dari sumbernya.
Kebijakan itu berlaku mulai 2 Januari 2019. Warga diharapkan memilah sampah,
memanfaatkan yang masih bisa dipakai dan memusnahkan sendiri yang tidak
terpakai.
Lebih jauh, keberadaan sampah ini merupakan salah satu penyebab rusaknya
lingkungan kota ataupun desa bila tidak
dikelola dengan baik. Keberadaan masalah sampah
ini tidak dapat lepas dari kehidupan dan
lingkungan manusia. Hal ini dapat terjadi karena masalah sampah sangat
berkaitan erat dengan kehidupan manusia. Manusia yang hidup dalam suatu
lingkungan pasti menghasilkan sampah yang
bersumber dari
kegiatan konsumsinya sehari-hari.
Kebijakan Pengelolaan Sampah
Dewasa ini, upaya pemerintah
dalam mengatasi masalah persampahan patut diberikan apresiasi. Sebab, pemerintah pusat
dan daerah saling bersinergi dalam mengentaskan
masalah sampah ini. Hadirnya, kebijakan tentang pengelolaan sampah yang ada di tiap daerah berusaha diterapkan
dan diimplementasikan kepada masyarakat. Bentuk nyata yang dilakukan pemerintah ialah dengan membangun sarana dan prasarana persampahan untuk menunjang terlaksananya
kebijakan tersebut.
Pada konteks Pemerintah Daerah Kabupaten
Banyumas, prasarana yang dibangun untuk terlaksananya penanganan sampah dengan metode 3R (reduce,
reuse,
dan recycle), berbasis masyarakat, dan lingkungan ini berupa pusat daur ulang (PDU) untuk perkotaan, TPS 3R dan TPST 3R di tiap wilayah yang disebut
hanggar (kata
hanggar diadopsi dari TPST yang ada di Kota Malang). Hanggar ini membantu pemerintah dalam pengurangan dan penanganan
sampah skala wilayah.
Adapun, sistem penanganan yang dilakukan di hanggar
TPS 3R itu adalah pengumpulan, pemilahan, penggunaan
ulang, dan pendauran ulang skala kawasan. Sedangkan hanggar TPST 3R (tempat pengolahan
sampah terpadu)
adalah tempat dilaksanakannya kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan
ulang, pendauran ulang, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah.
TPST
3R itu diharapkan
mampu menangani sampah di tiap wilayah
sampai habis (zero waste). Lebih jauh, keberadaan hanggar-hanggar itu diharpkan
mampu menurunkan volume sampah yang ada di TPA (tempat
pemrosesan akhir) sampah. Sehingga, dengan berkurangnya volume sampah di TPA tersebut, maka akan membantu pemerintah dalam mencapai tujuan dari kebijakan dan strategi
dalam pengelolaan sampah, baik pada level nasional (Jakstranas),
provinsi dan kebijakan
dan strategi daerah (Jakstrada).
Untuk memudahkan pelaksanaan penanganan sampah, Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas mengeluarkan kebijakan terkait pelimpahan wewenang kepada wilayah desa
dalam pengelolaan sampah. Namun, saat ini masih
belum banyak diimplementasikan.
Untuk itu, keberadaan TPS 3R atau TPST
3R yang sudah dibangun pemerintah
daerah diharapkan
dapat menjadi contoh bagi wilayah desa lainnya dalam
menangani sampah, sehingga membantu pemerintah
daerah dalam mencapai tujuan dari Jakstrada
dalam pengurangan dan penanganan sampah.
Saat ini, jumlah TPST 3R yang sudah terbangun di
Kabupaten Banyumas ada 11 hanggar
atau unit. Dari jumlah tersebut, ternyata
masih kurang untuk menangani sampah yang ada di Kabupaten Banyumas. Padahal, keberadaan peran setiap wilayah
dalam membantu pengurangan dan penanganan sampah sangat penting. Apabila suatu wilayah
tidak peduli dengan sampah yang dihasilkan di wilayahnya, maka akan menimbulkan
dampak yang dapat mengurangi kebersihan, keindahan,
dan kesehatan lingkungan. Sehingga ada masyarakat yang melakukan pembuangan
sampah di sembarang tempat, seperti sungai, saluran irigasi, lahan kosong,
pinggir jalan, dan tempat lainnya.
Kondisi seperti itu bisa terjadi dikarenakan kurang
pekanya wilayah dalam menangani sampah. Padahal sesuai amanat yang tercantum dalam pasal 18 ayat (1) Peraturan
Daerah Kabupaten Banyumas No. 9 tahun
2020 tentang perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten
Banyumas No. 6 tahun
2012 tentang pengelolaan sampah
disebutkan bahwa pemilahan
sampah dilakukan oleh setiap orang pada
sumbernya. Isi pasal
tersebut, sepertinya
masih belum banyak di pahami oleh
masyarakat. Dampak lebih lanjut terjadi pada program bank sampah
yang bertujuan mengedukasi masyarakat untuk memilah sampah itu, pada akhirnya mulai menurun eksistensinya.
Dalam arti lain, keberadaan TPS 3R
atau TPST 3R yang ada di wilayah-wilayah dan dibangun pemerintah daerah
dengan tujuan mengurangi dan menangani sampah rumah tangga dan sampah sejenis
rumah tangga itu, sepertinya masih belum optimal. Namun, efektivitas sudah dapat mengurangi
timbulan sampah skala hanggar. Sehingga keberadaan TPS3R atau TPST3R tersebut ikut berkontribusi dalam pencapaian
Jakstranas, Jakstrada provinsi
dan Kabupaten Banyumas, yaitu pengurangan sampah sebanyak 30% dari timbulan
sampah.
Permasalahan sampah lainnya, saat ini muncul adanya jasa pengangkutan sampah yang tidak berizin (illegal). Yakni, dengan sistem operasional angkut dari sumber dan buang langsung ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Hal ini, tentu ikut berkontribusi dalam menaikan volume sampah di TPA dan menjadi masalah baru dalam pengelolaan sampah.
Dengan kata lain, saat pemerintah melakukan pengurangan sampah di TPA, di sisi lain ada sekelompok jasa angkutan sampah yang menambah volume sampah di TPA secara ilegal. Inilah permasalahan sampah yang sangat kontra. Untuk itu, pemerintah harus melakukan penertiban jasa pengangkutan sampah ini. Tepatnya, perlu memberikan pembinaan tentang pengelolaan sampah yang baik dan mengarahkan untuk bekerjasama dengan TPST 3R, sehingga pemerintah tidak melakukan pembiaran terhadap jasa pengangkutan tersebut.
Edukasi Pengelolaan Sampah
Walau Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas telah memberikan edukasi lewat program di bidang pendidikan
(Adiwiyata) dan masyarakat (Bank Sampah, Salinmas
dan Jegnyong), tapi masih
ada masyarakat yang belum paham akan
pentingnya memilah sampah dari sumbernya. Seharusnya masyarakat berpikir secara
bijak dalam mengelola sampah itu.
Menyikapi permasalahan pengelolaan sampah tersebut, maka
perlu peningkatan program edukasi tentang pentingnya pendidikan lingkungan hidup kepada masyarakat untuk memilah
sampah dari sumbernya yang harus
diberikan secara kontinyu. Apalagi, selama
ini edukasi
yang sudah disampaikan di sekolah, perguruan tinggi, kantor,
komunitas dan masyarakat itu setidaknya
telah membantu pemerintah
dalam pembangunan berkelanjutan
(khususnya pengelolaan
sampah).
Untuk itu, harus ditanamkan dalam pikiran masyarakat kalau
tujuan pengelolaan sampah itu,
tidak lain supaya sampah memiliki nilai
ekonomi atau merubahnya menjadi bahan yang tidak membahayakan lingkungan.
Dengan melakukan pengelolaan sampah rumah tangga yang benar, maka dapat membantu menekan dampak negatif
sampah terhadap lingkungan.
Akhirnya,
harus diingat ungkapan berikut, “Sampahmu tanggungjawabmu dan sampahku tanggungjawabku”. Jadi, mari kendalikan sampah dari sumbernya agar
program reuse,
reduce, dan recycle dapat berhasil
dengan baik di Kabupaten Banyumas.***
Oleh: Sri Sutarsiyah
(Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Jenderal Soedirman)
Apa itu sampah? Sampah ialah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau
proses alam yang berbentuk padat. Berdasarkan pengelolaannya, sampah dibagi tiga, yaitu sampah
rumah tangga
(SRT), sampah sejenis
rumah tangga
(SSRT), dan sampah
spesifik. Sampah spesifik itu merupakan sampah yang
karena sifat, konsentrasi dan/atau volumenya memerlukan pengelolaan khusus.
Pengelolaan
sampah sendiri diartikan sebagai kegiatan sistematis,
menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi
pengurangan dan penanganan sampah. Masalah sampah ini merupakan hal yang harus ditangani secara
optimal. Apalagi, seiring
bertambahnya jumlah penduduk maka bertambah pula volume sampah yang dihasilkan.
Dengan arti lain, berdasarkan tingginya
jumlah penduduk berpengaruh terhadap besarnya volume sampah rumah tangga yang dihasilkan.
Sampah rumah tangga dihasilkan oleh penduduk yang memiliki berbagai macam aktivitas.
Seperti diberitakan detikcom (07/01/2019), produksi
sampah di Banyumas mencapai 600 ton per hari. Biasanya, sampah-sampah itu
diambil petugas lalu dibuang ke 3 tempat pembuangan akhir (TPA). Mulai 2019
warga diminta mengelola sendiri. Warga yang mengaku tidak paham caranya justru
membuang sampah sembarangan. Pemkab mengeluarkan Surat Edaran Bupati
Banyumas No 660.1/7776/2018 tentang pengelolaan sampah dari sumbernya.
Kebijakan itu berlaku mulai 2 Januari 2019. Warga diharapkan memilah sampah,
memanfaatkan yang masih bisa dipakai dan memusnahkan sendiri yang tidak
terpakai.
Lebih jauh, keberadaan sampah ini merupakan salah satu penyebab rusaknya
lingkungan kota ataupun desa bila tidak
dikelola dengan baik. Keberadaan masalah sampah
ini tidak dapat lepas dari kehidupan dan
lingkungan manusia. Hal ini dapat terjadi karena masalah sampah sangat
berkaitan erat dengan kehidupan manusia. Manusia yang hidup dalam suatu
lingkungan pasti menghasilkan sampah yang
bersumber dari
kegiatan konsumsinya sehari-hari.
Kebijakan Pengelolaan Sampah
Dewasa ini, upaya pemerintah
dalam mengatasi masalah persampahan patut diberikan apresiasi. Sebab, pemerintah pusat
dan daerah saling bersinergi dalam mengentaskan
masalah sampah ini. Hadirnya, kebijakan tentang pengelolaan sampah yang ada di tiap daerah berusaha diterapkan
dan diimplementasikan kepada masyarakat. Bentuk nyata yang dilakukan pemerintah ialah dengan membangun sarana dan prasarana persampahan untuk menunjang terlaksananya
kebijakan tersebut.
Pada konteks Pemerintah Daerah Kabupaten
Banyumas, prasarana yang dibangun untuk terlaksananya penanganan sampah dengan metode 3R (reduce,
reuse,
dan recycle), berbasis masyarakat, dan lingkungan ini berupa pusat daur ulang (PDU) untuk perkotaan, TPS 3R dan TPST 3R di tiap wilayah yang disebut
hanggar (kata
hanggar diadopsi dari TPST yang ada di Kota Malang). Hanggar ini membantu pemerintah dalam pengurangan dan penanganan
sampah skala wilayah.
Adapun, sistem penanganan yang dilakukan di hanggar
TPS 3R itu adalah pengumpulan, pemilahan, penggunaan
ulang, dan pendauran ulang skala kawasan. Sedangkan hanggar TPST 3R (tempat pengolahan
sampah terpadu)
adalah tempat dilaksanakannya kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan
ulang, pendauran ulang, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah.
TPST
3R itu diharapkan
mampu menangani sampah di tiap wilayah
sampai habis (zero waste). Lebih jauh, keberadaan hanggar-hanggar itu diharpkan
mampu menurunkan volume sampah yang ada di TPA (tempat
pemrosesan akhir) sampah. Sehingga, dengan berkurangnya volume sampah di TPA tersebut, maka akan membantu pemerintah dalam mencapai tujuan dari kebijakan dan strategi
dalam pengelolaan sampah, baik pada level nasional (Jakstranas),
provinsi dan kebijakan
dan strategi daerah (Jakstrada).
Untuk memudahkan pelaksanaan penanganan sampah, Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas mengeluarkan kebijakan terkait pelimpahan wewenang kepada wilayah desa
dalam pengelolaan sampah. Namun, saat ini masih
belum banyak diimplementasikan.
Untuk itu, keberadaan TPS 3R atau TPST
3R yang sudah dibangun pemerintah
daerah diharapkan
dapat menjadi contoh bagi wilayah desa lainnya dalam
menangani sampah, sehingga membantu pemerintah
daerah dalam mencapai tujuan dari Jakstrada
dalam pengurangan dan penanganan sampah.
Saat ini, jumlah TPST 3R yang sudah terbangun di
Kabupaten Banyumas ada 11 hanggar
atau unit. Dari jumlah tersebut, ternyata
masih kurang untuk menangani sampah yang ada di Kabupaten Banyumas. Padahal, keberadaan peran setiap wilayah
dalam membantu pengurangan dan penanganan sampah sangat penting. Apabila suatu wilayah
tidak peduli dengan sampah yang dihasilkan di wilayahnya, maka akan menimbulkan
dampak yang dapat mengurangi kebersihan, keindahan,
dan kesehatan lingkungan. Sehingga ada masyarakat yang melakukan pembuangan
sampah di sembarang tempat, seperti sungai, saluran irigasi, lahan kosong,
pinggir jalan, dan tempat lainnya.
Kondisi seperti itu bisa terjadi dikarenakan kurang
pekanya wilayah dalam menangani sampah. Padahal sesuai amanat yang tercantum dalam pasal 18 ayat (1) Peraturan
Daerah Kabupaten Banyumas No. 9 tahun
2020 tentang perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten
Banyumas No. 6 tahun
2012 tentang pengelolaan sampah
disebutkan bahwa pemilahan
sampah dilakukan oleh setiap orang pada
sumbernya. Isi pasal
tersebut, sepertinya
masih belum banyak di pahami oleh
masyarakat. Dampak lebih lanjut terjadi pada program bank sampah
yang bertujuan mengedukasi masyarakat untuk memilah sampah itu, pada akhirnya mulai menurun eksistensinya.
Dalam arti lain, keberadaan TPS 3R
atau TPST 3R yang ada di wilayah-wilayah dan dibangun pemerintah daerah
dengan tujuan mengurangi dan menangani sampah rumah tangga dan sampah sejenis
rumah tangga itu, sepertinya masih belum optimal. Namun, efektivitas sudah dapat mengurangi
timbulan sampah skala hanggar. Sehingga keberadaan TPS3R atau TPST3R tersebut ikut berkontribusi dalam pencapaian
Jakstranas, Jakstrada provinsi
dan Kabupaten Banyumas, yaitu pengurangan sampah sebanyak 30% dari timbulan
sampah.
Permasalahan sampah lainnya, saat ini muncul adanya jasa pengangkutan sampah yang tidak berizin (illegal). Yakni, dengan sistem operasional angkut dari sumber dan buang langsung ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Hal ini, tentu ikut berkontribusi dalam menaikan volume sampah di TPA dan menjadi masalah baru dalam pengelolaan sampah.
Dengan kata lain, saat pemerintah melakukan pengurangan sampah di TPA, di sisi lain ada sekelompok jasa angkutan sampah yang menambah volume sampah di TPA secara ilegal. Inilah permasalahan sampah yang sangat kontra. Untuk itu, pemerintah harus melakukan penertiban jasa pengangkutan sampah ini. Tepatnya, perlu memberikan pembinaan tentang pengelolaan sampah yang baik dan mengarahkan untuk bekerjasama dengan TPST 3R, sehingga pemerintah tidak melakukan pembiaran terhadap jasa pengangkutan tersebut.
Edukasi Pengelolaan Sampah
Walau Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas telah memberikan edukasi lewat program di bidang pendidikan
(Adiwiyata) dan masyarakat (Bank Sampah, Salinmas
dan Jegnyong), tapi masih
ada masyarakat yang belum paham akan
pentingnya memilah sampah dari sumbernya. Seharusnya masyarakat berpikir secara
bijak dalam mengelola sampah itu.
Menyikapi permasalahan pengelolaan sampah tersebut, maka
perlu peningkatan program edukasi tentang pentingnya pendidikan lingkungan hidup kepada masyarakat untuk memilah
sampah dari sumbernya yang harus
diberikan secara kontinyu. Apalagi, selama
ini edukasi
yang sudah disampaikan di sekolah, perguruan tinggi, kantor,
komunitas dan masyarakat itu setidaknya
telah membantu pemerintah
dalam pembangunan berkelanjutan
(khususnya pengelolaan
sampah).
Untuk itu, harus ditanamkan dalam pikiran masyarakat kalau
tujuan pengelolaan sampah itu,
tidak lain supaya sampah memiliki nilai
ekonomi atau merubahnya menjadi bahan yang tidak membahayakan lingkungan.
Dengan melakukan pengelolaan sampah rumah tangga yang benar, maka dapat membantu menekan dampak negatif
sampah terhadap lingkungan.
Akhirnya,
harus diingat ungkapan berikut, “Sampahmu tanggungjawabmu dan sampahku tanggungjawabku”. Jadi, mari kendalikan sampah dari sumbernya agar
program reuse,
reduce, dan recycle dapat berhasil
dengan baik di Kabupaten Banyumas.***

Cara Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup Akibat Limbah Pabrik Tahu
Mahasiswa Magister Ilmu Lingkungan Universitas Jenderal
Soedirman Angkatan Tahun
Masyarakat Indonesia tentu familiar dengan makanan bernama tahu. Terbuat
dari biji kedelai yang diendapkan sehingga mengalami koagulasi. Tahu biasanya diolah menjadi gorengan tahu atau dijadikan
lauk pauk yang dipadu padankan dengan sayuran.
Keberadaan
tahu ini mudah didapat dan harganya
yang dapat dikatakan ramah di katong. Namun, saat ini masyarakat sedang
dihebohkan dengan kelangkaan tahu disebabkan harga kedelai yang melonjak naik, sehingga banyak produsen
tahu yang memilih mogok memproduksi tahunya.
Di
sisi lain, dengan banyaknya konsumen tahu di Indonesia tidak dapat dipungkiri bahwa produksi tahu terus
meningkat, sebagai konsekuensinya limbah domestik dari pabrik tahu di Indonesia pun ikut meningkat. Mengingat pembuatan tahu yang melewati beberapa proses,
seperti pencucian kedelai, penyaringan, kemudian proses pengendapan sampai terbentuklah
tahu. Tentu dari masing-masing proses tersebut terdapat limbah yang dapat merusak lingkungan sekitar
tempat produksi tahu.
Limbah tahu itu terbagi mejadi dua, yaitu limbah padat dan limbah cair. Limbah padat tahu berasal dari proses pencucian kedelai yang terdapat tanahnya maupun dari ampas tahu itu sendiri. Sedangkan limbah cair berasal dari proses perendaman, pencucian kedelai, penyaringan maupun pengendapan tahu itu sendiri. Limbah tahu yang cair umumnya berwarna kuning dan memiliki bau yang menyengat.
Bahayakan Lingkungan dan Manusia
Pada beberapa kasus, produsen atau pabrik tahu memilih membuang limbahnya ke
sungai. Hal ini tentu sangat merugikan ekosistem sungai.
Selain menimbulkan bau tak sedap bagi masyarakat sekitar, juga mencemari sungai. Bagi masyarakat awam, mungkin akan
memilih untuk ikhlas dan tidak mempermasalahkan limbah tahu tersebut. Namun, dampak yang ditimbulkan
dari limbah tersebut apabila tetap dibiarkan dapat merusak lingkungan. Pasalnya, limbah tahu yang dibiarkan akan berubah warna menjadi
kecoklatan dan berbau busuk. Bau busuk ini dapat mengganggu pernafasan. Selain
itu, apabila limbah cair ini merambah ke sumur atau perairan
warga maka dapat mecemari air bersih yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti
diare, kolera maupun gatal-gatal.
Tercemarnya lingkungan akibat limbah pabrik tahu sangatlah berbahaya. Yakni, rusaknya kualitas lingkungan terutama
perairan sebagai salah satu kebutuhan umat manusia dan makhluk hidup lainnya.
Selain berdampak buruk bagi lingkungan sekitar, limbah pabrik tahu juga
dapat merusak kesehatan manusia. Rusaknya ekosistem perairan mengakibatkan
menurunnya kualitas air pada perairan tersebut yang kemudian akan menghilangkan
manfaat dari air tersebut.
Alasan mengapa limbah pabrik tahu dapat merusak lingkungan dan manusia
adalah karena mempunyai bahan yang jika dibuang sembarangan ke lingkungan maka
itu akan sangat berbahaya.
Cara Pengelolaan Limbah Tahu
Pecemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah tahu dapat dihindari apabila
produsen tahu dapat memahami cara pengolahan limbah tahu yang baik dan benar.
Hal ini juga diterangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Pada pasal 1 disebutkan bahwa pengelolaan
limbah mencakup reduksi, peyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengelolaan
dan penimbunan.
Disisi lain, terdapat Peraturan Perundang-undangan No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dapat dijadikan bahan evaluasi bagi pabrik tahu maupun produsen tahu
domestik dalam mengelola limbah yang dihasilkan dalam proses pembuatan tahu. Dijelaskan pada
pasal 20 ayat 3, bahwa setiap orang diperbolehkan membuang limbah ke media lingkungan
hidup dengan persyaratan:
(a) Memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan (b) Mendapat izin dari menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenanganya.
Limbah industri, hendaknya diproses terlebih dahulu dengan teknik pengolahan limbah. Baru setelah memenuhi syarat baku mutu air buangan, limbah hasil pengolahan tersebut bisa dialirkan ke badan air atau sungai. Dengan demikian akan tercipta sungai yang bersih dan memiliki fungsi ekologis. Memang, setiap ekosistem itu selalu beradaptasi dengan tempatnya. Walaupun begitu, tingkat adaptasinya terbatas, bila batas tersebut melampaui batas, maka ikan tersebut akan mati. Punahnya sepesis tertentu akan berakibat pada kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
![]() |
Mandirinya Desa Kalisari Dengan Biogas dan Pemasaran Tahu
Lindungi Lingkungan Hidup Dari Limbah Tahu
Industri yang berdampingan langsung dengan masyarakat seperti pabrik
tahu, selain menimbulkan dampak positif seperti menciptakan
lapangan kerja dan meningkatkan ekonomi masyarakat setempat. Namun, juga memiliki dampak
negatif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar seperti terjadinya
pencemaran lingkungan.
Fakta di
lapangan, meskipun masyarakat merasakan dampak negatif langsung, namun rata-rata masyarakat Indonesia acuh terhadap dampak
negatif yang telah ditimbulkan oleh industri tersebut. Salah satu penyebabnya adalah karena masyarakat di
Indonesia hanya bisa mengadu pada pemerintah setempat atau pelaku industri
langsung dengan
hanya bermodalkan dari dampak yang mereka rasakan tanpa ada
dasar hukum yang kuat, sehingga kasus seperti ini mudah dilupakan dan dibiarkan
oleh pelaku industri dan juga pemerintah setempat.
Melihat permasalahan lingkungan di Indonesia seperti tersebut,
maka
seharusnya masyarakat bisa mengetahui perlunya penerapan peraturan seperti UU
No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk
mengatur berbagai macam kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh industri
yang merusak kualitas dan baku mutu lingkungan hidup; melakukan perbuatan melawan hukum berupa
pencemaran limbah yang dapat merusak lingkungan hidup dan membahayakan kesehatan pada manusia dan pada
ekosistem yang berada diperairan.
Jika, industri tersebut melanggar ketentuan yang telah diberlakukan
oleh pemerintah, maka para industri tersebut wajib mendapatkan sanksi berdasarkan
peraturan yang berlaku. Sebab, saat ini masih banyak industri yang tidak peduli jika hanya mendapatkan teguran
atau hanya tindakan dari masyarakat
sekitar. Harapannya, dengan perbedoman dan berdasarkan pada peraturan negara yang sudah
ada, para pelaku
industri lebih memahami pentingnya menjaga lingkungan sekitar.
Kasus
pencemaran di wilayah perairan atau sungai juga diatur dalam Undang Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, menyebutkan bahwa setiap orang atau badan usaha dilarang
melakukan kegiatan yang mengakibatkan rusaknya sumber daya air dan prasarana,
menganggu upaya pengawetan air, dan/atau mengakibatkan pencemaran air. Tentunya
kerusakan air akibat limbah ini bukan hanya terjadi saat limbah itu mengalir di
air saja, tetapi ketika pelaku kerusakan berusaha mengawetkan air limbah
tersebut pun sudah dapat dikatakan perilaku merusak sumber daya air.
Harapannya, dengan penerapan peraturan yang sudah ditetapkan pemerintah terhadap lingkungan dan industri di tanah air, maka para pelaku industri bisa lebih
bijaksana lagi dalam hal membuang limbah ataupun kegiatan industri lainnya yang
sekiranya dapat merusak alam. Karena dampak dari kerusakan lingkungan itu
sendiri, selain bisa
dirasakan secara langsung pada saat itu juga dapat berakibat dalam jangka
waktu lama. Kemudian untuk mengembalikan kondisi alam dan lingkungan menjadi
seperti semula itu bukan perkara yang mudah. Maka dari itu, komunikasi antara dua belah pihak, baik dari pelaku industri dan masyarakat sangatlah
diperlukan. Artinya, pelaku industri
tidak akan bisa mengontrol industrinya itu secara sendirian, jika tidak
mendapat pengawasan dari pemerintah
dan masyarakat sekitar.
Kesimpulan
Untuk menjaga
kelestarian alam, maka kita sebagai
manusia haruslah melindungi dan mengelola lingkungan hidup agar tetap bisa lestari
dan terjaga dengan baik. Dalam hal
melindungi lingkungan
hidup, kita sebagai warga negara Indonesia yang merupakan negara hukum hendaknya
melindungi alam dan lingkungan kita dengan berlandaskan hukum dan peraturan
pemerintah yang sudah ditetapkan.
Kegiatan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup seperti itu
merupakan salah satu upaya yang bertujuan untuk melindungi dan mengelola
lingkungan hidup yang berdasarkan pada peraturan yang sudah ditetapkan pemerintah
dan norma-norma hukum lingkungan sehingga lingkungan hidup akan seimbang antara
kepentingan ekonomi, pelestarian lingkungan hidup dan kondisi sosial
masyarakat.
Mahasiswa Magister Ilmu Lingkungan Universitas Jenderal
Soedirman Angkatan Tahun
Masyarakat Indonesia tentu familiar dengan makanan bernama tahu. Terbuat
dari biji kedelai yang diendapkan sehingga mengalami koagulasi. Tahu biasanya diolah menjadi gorengan tahu atau dijadikan
lauk pauk yang dipadu padankan dengan sayuran.
Keberadaan
tahu ini mudah didapat dan harganya
yang dapat dikatakan ramah di katong. Namun, saat ini masyarakat sedang
dihebohkan dengan kelangkaan tahu disebabkan harga kedelai yang melonjak naik, sehingga banyak produsen
tahu yang memilih mogok memproduksi tahunya.
Di
sisi lain, dengan banyaknya konsumen tahu di Indonesia tidak dapat dipungkiri bahwa produksi tahu terus
meningkat, sebagai konsekuensinya limbah domestik dari pabrik tahu di Indonesia pun ikut meningkat. Mengingat pembuatan tahu yang melewati beberapa proses,
seperti pencucian kedelai, penyaringan, kemudian proses pengendapan sampai terbentuklah
tahu. Tentu dari masing-masing proses tersebut terdapat limbah yang dapat merusak lingkungan sekitar
tempat produksi tahu.
Limbah tahu itu terbagi mejadi dua, yaitu limbah padat dan limbah cair. Limbah padat tahu berasal dari proses pencucian kedelai yang terdapat tanahnya maupun dari ampas tahu itu sendiri. Sedangkan limbah cair berasal dari proses perendaman, pencucian kedelai, penyaringan maupun pengendapan tahu itu sendiri. Limbah tahu yang cair umumnya berwarna kuning dan memiliki bau yang menyengat.
Bahayakan Lingkungan dan Manusia
Pada beberapa kasus, produsen atau pabrik tahu memilih membuang limbahnya ke
sungai. Hal ini tentu sangat merugikan ekosistem sungai.
Selain menimbulkan bau tak sedap bagi masyarakat sekitar, juga mencemari sungai. Bagi masyarakat awam, mungkin akan
memilih untuk ikhlas dan tidak mempermasalahkan limbah tahu tersebut. Namun, dampak yang ditimbulkan
dari limbah tersebut apabila tetap dibiarkan dapat merusak lingkungan. Pasalnya, limbah tahu yang dibiarkan akan berubah warna menjadi
kecoklatan dan berbau busuk. Bau busuk ini dapat mengganggu pernafasan. Selain
itu, apabila limbah cair ini merambah ke sumur atau perairan
warga maka dapat mecemari air bersih yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti
diare, kolera maupun gatal-gatal.
Tercemarnya lingkungan akibat limbah pabrik tahu sangatlah berbahaya. Yakni, rusaknya kualitas lingkungan terutama
perairan sebagai salah satu kebutuhan umat manusia dan makhluk hidup lainnya.
Selain berdampak buruk bagi lingkungan sekitar, limbah pabrik tahu juga
dapat merusak kesehatan manusia. Rusaknya ekosistem perairan mengakibatkan
menurunnya kualitas air pada perairan tersebut yang kemudian akan menghilangkan
manfaat dari air tersebut.
Alasan mengapa limbah pabrik tahu dapat merusak lingkungan dan manusia
adalah karena mempunyai bahan yang jika dibuang sembarangan ke lingkungan maka
itu akan sangat berbahaya.
Cara Pengelolaan Limbah Tahu
Pecemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah tahu dapat dihindari apabila
produsen tahu dapat memahami cara pengolahan limbah tahu yang baik dan benar.
Hal ini juga diterangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Pada pasal 1 disebutkan bahwa pengelolaan
limbah mencakup reduksi, peyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengelolaan
dan penimbunan.
Disisi lain, terdapat Peraturan Perundang-undangan No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dapat dijadikan bahan evaluasi bagi pabrik tahu maupun produsen tahu
domestik dalam mengelola limbah yang dihasilkan dalam proses pembuatan tahu. Dijelaskan pada
pasal 20 ayat 3, bahwa setiap orang diperbolehkan membuang limbah ke media lingkungan
hidup dengan persyaratan:
(a) Memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan (b) Mendapat izin dari menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenanganya.
Limbah industri, hendaknya diproses terlebih dahulu dengan teknik pengolahan limbah. Baru setelah memenuhi syarat baku mutu air buangan, limbah hasil pengolahan tersebut bisa dialirkan ke badan air atau sungai. Dengan demikian akan tercipta sungai yang bersih dan memiliki fungsi ekologis. Memang, setiap ekosistem itu selalu beradaptasi dengan tempatnya. Walaupun begitu, tingkat adaptasinya terbatas, bila batas tersebut melampaui batas, maka ikan tersebut akan mati. Punahnya sepesis tertentu akan berakibat pada kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
![]() |
Mandirinya Desa Kalisari Dengan Biogas dan Pemasaran Tahu
Lindungi Lingkungan Hidup Dari Limbah Tahu
Industri yang berdampingan langsung dengan masyarakat seperti pabrik
tahu, selain menimbulkan dampak positif seperti menciptakan
lapangan kerja dan meningkatkan ekonomi masyarakat setempat. Namun, juga memiliki dampak
negatif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar seperti terjadinya
pencemaran lingkungan.
Fakta di
lapangan, meskipun masyarakat merasakan dampak negatif langsung, namun rata-rata masyarakat Indonesia acuh terhadap dampak
negatif yang telah ditimbulkan oleh industri tersebut. Salah satu penyebabnya adalah karena masyarakat di
Indonesia hanya bisa mengadu pada pemerintah setempat atau pelaku industri
langsung dengan
hanya bermodalkan dari dampak yang mereka rasakan tanpa ada
dasar hukum yang kuat, sehingga kasus seperti ini mudah dilupakan dan dibiarkan
oleh pelaku industri dan juga pemerintah setempat.
Melihat permasalahan lingkungan di Indonesia seperti tersebut,
maka
seharusnya masyarakat bisa mengetahui perlunya penerapan peraturan seperti UU
No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk
mengatur berbagai macam kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh industri
yang merusak kualitas dan baku mutu lingkungan hidup; melakukan perbuatan melawan hukum berupa
pencemaran limbah yang dapat merusak lingkungan hidup dan membahayakan kesehatan pada manusia dan pada
ekosistem yang berada diperairan.
Jika, industri tersebut melanggar ketentuan yang telah diberlakukan
oleh pemerintah, maka para industri tersebut wajib mendapatkan sanksi berdasarkan
peraturan yang berlaku. Sebab, saat ini masih banyak industri yang tidak peduli jika hanya mendapatkan teguran
atau hanya tindakan dari masyarakat
sekitar. Harapannya, dengan perbedoman dan berdasarkan pada peraturan negara yang sudah
ada, para pelaku
industri lebih memahami pentingnya menjaga lingkungan sekitar.
Kasus
pencemaran di wilayah perairan atau sungai juga diatur dalam Undang Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, menyebutkan bahwa setiap orang atau badan usaha dilarang
melakukan kegiatan yang mengakibatkan rusaknya sumber daya air dan prasarana,
menganggu upaya pengawetan air, dan/atau mengakibatkan pencemaran air. Tentunya
kerusakan air akibat limbah ini bukan hanya terjadi saat limbah itu mengalir di
air saja, tetapi ketika pelaku kerusakan berusaha mengawetkan air limbah
tersebut pun sudah dapat dikatakan perilaku merusak sumber daya air.
Harapannya, dengan penerapan peraturan yang sudah ditetapkan pemerintah terhadap lingkungan dan industri di tanah air, maka para pelaku industri bisa lebih
bijaksana lagi dalam hal membuang limbah ataupun kegiatan industri lainnya yang
sekiranya dapat merusak alam. Karena dampak dari kerusakan lingkungan itu
sendiri, selain bisa
dirasakan secara langsung pada saat itu juga dapat berakibat dalam jangka
waktu lama. Kemudian untuk mengembalikan kondisi alam dan lingkungan menjadi
seperti semula itu bukan perkara yang mudah. Maka dari itu, komunikasi antara dua belah pihak, baik dari pelaku industri dan masyarakat sangatlah
diperlukan. Artinya, pelaku industri
tidak akan bisa mengontrol industrinya itu secara sendirian, jika tidak
mendapat pengawasan dari pemerintah
dan masyarakat sekitar.
Kesimpulan
Untuk menjaga
kelestarian alam, maka kita sebagai
manusia haruslah melindungi dan mengelola lingkungan hidup agar tetap bisa lestari
dan terjaga dengan baik. Dalam hal
melindungi lingkungan
hidup, kita sebagai warga negara Indonesia yang merupakan negara hukum hendaknya
melindungi alam dan lingkungan kita dengan berlandaskan hukum dan peraturan
pemerintah yang sudah ditetapkan.
Kegiatan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup seperti itu
merupakan salah satu upaya yang bertujuan untuk melindungi dan mengelola
lingkungan hidup yang berdasarkan pada peraturan yang sudah ditetapkan pemerintah
dan norma-norma hukum lingkungan sehingga lingkungan hidup akan seimbang antara
kepentingan ekonomi, pelestarian lingkungan hidup dan kondisi sosial
masyarakat.
Mahasiswa Magister Ilmu Lingkungan Universitas Jenderal
Soedirman Angkatan Tahun
Masyarakat Indonesia tentu familiar dengan makanan bernama tahu. Terbuat
dari biji kedelai yang diendapkan sehingga mengalami koagulasi. Tahu biasanya diolah menjadi gorengan tahu atau dijadikan
lauk pauk yang dipadu padankan dengan sayuran.
Keberadaan
tahu ini mudah didapat dan harganya
yang dapat dikatakan ramah di katong. Namun, saat ini masyarakat sedang
dihebohkan dengan kelangkaan tahu disebabkan harga kedelai yang melonjak naik, sehingga banyak produsen
tahu yang memilih mogok memproduksi tahunya.
Di
sisi lain, dengan banyaknya konsumen tahu di Indonesia tidak dapat dipungkiri bahwa produksi tahu terus
meningkat, sebagai konsekuensinya limbah domestik dari pabrik tahu di Indonesia pun ikut meningkat. Mengingat pembuatan tahu yang melewati beberapa proses,
seperti pencucian kedelai, penyaringan, kemudian proses pengendapan sampai terbentuklah
tahu. Tentu dari masing-masing proses tersebut terdapat limbah yang dapat merusak lingkungan sekitar
tempat produksi tahu.
Limbah tahu itu terbagi mejadi dua, yaitu limbah padat dan limbah cair. Limbah padat tahu berasal dari proses pencucian kedelai yang terdapat tanahnya maupun dari ampas tahu itu sendiri. Sedangkan limbah cair berasal dari proses perendaman, pencucian kedelai, penyaringan maupun pengendapan tahu itu sendiri. Limbah tahu yang cair umumnya berwarna kuning dan memiliki bau yang menyengat.
Bahayakan Lingkungan dan Manusia
Pada beberapa kasus, produsen atau pabrik tahu memilih membuang limbahnya ke
sungai. Hal ini tentu sangat merugikan ekosistem sungai.
Selain menimbulkan bau tak sedap bagi masyarakat sekitar, juga mencemari sungai. Bagi masyarakat awam, mungkin akan
memilih untuk ikhlas dan tidak mempermasalahkan limbah tahu tersebut. Namun, dampak yang ditimbulkan
dari limbah tersebut apabila tetap dibiarkan dapat merusak lingkungan. Pasalnya, limbah tahu yang dibiarkan akan berubah warna menjadi
kecoklatan dan berbau busuk. Bau busuk ini dapat mengganggu pernafasan. Selain
itu, apabila limbah cair ini merambah ke sumur atau perairan
warga maka dapat mecemari air bersih yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti
diare, kolera maupun gatal-gatal.
Tercemarnya lingkungan akibat limbah pabrik tahu sangatlah berbahaya. Yakni, rusaknya kualitas lingkungan terutama
perairan sebagai salah satu kebutuhan umat manusia dan makhluk hidup lainnya.
Selain berdampak buruk bagi lingkungan sekitar, limbah pabrik tahu juga
dapat merusak kesehatan manusia. Rusaknya ekosistem perairan mengakibatkan
menurunnya kualitas air pada perairan tersebut yang kemudian akan menghilangkan
manfaat dari air tersebut.
Alasan mengapa limbah pabrik tahu dapat merusak lingkungan dan manusia
adalah karena mempunyai bahan yang jika dibuang sembarangan ke lingkungan maka
itu akan sangat berbahaya.
Cara Pengelolaan Limbah Tahu
Pecemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah tahu dapat dihindari apabila
produsen tahu dapat memahami cara pengolahan limbah tahu yang baik dan benar.
Hal ini juga diterangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Pada pasal 1 disebutkan bahwa pengelolaan
limbah mencakup reduksi, peyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengelolaan
dan penimbunan.
Disisi lain, terdapat Peraturan Perundang-undangan No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dapat dijadikan bahan evaluasi bagi pabrik tahu maupun produsen tahu
domestik dalam mengelola limbah yang dihasilkan dalam proses pembuatan tahu. Dijelaskan pada
pasal 20 ayat 3, bahwa setiap orang diperbolehkan membuang limbah ke media lingkungan
hidup dengan persyaratan:
(a) Memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan (b) Mendapat izin dari menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenanganya.
Limbah industri, hendaknya diproses terlebih dahulu dengan teknik pengolahan limbah. Baru setelah memenuhi syarat baku mutu air buangan, limbah hasil pengolahan tersebut bisa dialirkan ke badan air atau sungai. Dengan demikian akan tercipta sungai yang bersih dan memiliki fungsi ekologis. Memang, setiap ekosistem itu selalu beradaptasi dengan tempatnya. Walaupun begitu, tingkat adaptasinya terbatas, bila batas tersebut melampaui batas, maka ikan tersebut akan mati. Punahnya sepesis tertentu akan berakibat pada kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
![]() |
Mandirinya Desa Kalisari Dengan Biogas dan Pemasaran Tahu
Lindungi Lingkungan Hidup Dari Limbah Tahu
Industri yang berdampingan langsung dengan masyarakat seperti pabrik
tahu, selain menimbulkan dampak positif seperti menciptakan
lapangan kerja dan meningkatkan ekonomi masyarakat setempat. Namun, juga memiliki dampak
negatif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar seperti terjadinya
pencemaran lingkungan.
Fakta di
lapangan, meskipun masyarakat merasakan dampak negatif langsung, namun rata-rata masyarakat Indonesia acuh terhadap dampak
negatif yang telah ditimbulkan oleh industri tersebut. Salah satu penyebabnya adalah karena masyarakat di
Indonesia hanya bisa mengadu pada pemerintah setempat atau pelaku industri
langsung dengan
hanya bermodalkan dari dampak yang mereka rasakan tanpa ada
dasar hukum yang kuat, sehingga kasus seperti ini mudah dilupakan dan dibiarkan
oleh pelaku industri dan juga pemerintah setempat.
Melihat permasalahan lingkungan di Indonesia seperti tersebut,
maka
seharusnya masyarakat bisa mengetahui perlunya penerapan peraturan seperti UU
No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk
mengatur berbagai macam kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh industri
yang merusak kualitas dan baku mutu lingkungan hidup; melakukan perbuatan melawan hukum berupa
pencemaran limbah yang dapat merusak lingkungan hidup dan membahayakan kesehatan pada manusia dan pada
ekosistem yang berada diperairan.
Jika, industri tersebut melanggar ketentuan yang telah diberlakukan
oleh pemerintah, maka para industri tersebut wajib mendapatkan sanksi berdasarkan
peraturan yang berlaku. Sebab, saat ini masih banyak industri yang tidak peduli jika hanya mendapatkan teguran
atau hanya tindakan dari masyarakat
sekitar. Harapannya, dengan perbedoman dan berdasarkan pada peraturan negara yang sudah
ada, para pelaku
industri lebih memahami pentingnya menjaga lingkungan sekitar.
Kasus
pencemaran di wilayah perairan atau sungai juga diatur dalam Undang Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, menyebutkan bahwa setiap orang atau badan usaha dilarang
melakukan kegiatan yang mengakibatkan rusaknya sumber daya air dan prasarana,
menganggu upaya pengawetan air, dan/atau mengakibatkan pencemaran air. Tentunya
kerusakan air akibat limbah ini bukan hanya terjadi saat limbah itu mengalir di
air saja, tetapi ketika pelaku kerusakan berusaha mengawetkan air limbah
tersebut pun sudah dapat dikatakan perilaku merusak sumber daya air.
Harapannya, dengan penerapan peraturan yang sudah ditetapkan pemerintah terhadap lingkungan dan industri di tanah air, maka para pelaku industri bisa lebih
bijaksana lagi dalam hal membuang limbah ataupun kegiatan industri lainnya yang
sekiranya dapat merusak alam. Karena dampak dari kerusakan lingkungan itu
sendiri, selain bisa
dirasakan secara langsung pada saat itu juga dapat berakibat dalam jangka
waktu lama. Kemudian untuk mengembalikan kondisi alam dan lingkungan menjadi
seperti semula itu bukan perkara yang mudah. Maka dari itu, komunikasi antara dua belah pihak, baik dari pelaku industri dan masyarakat sangatlah
diperlukan. Artinya, pelaku industri
tidak akan bisa mengontrol industrinya itu secara sendirian, jika tidak
mendapat pengawasan dari pemerintah
dan masyarakat sekitar.
Kesimpulan
Untuk menjaga
kelestarian alam, maka kita sebagai
manusia haruslah melindungi dan mengelola lingkungan hidup agar tetap bisa lestari
dan terjaga dengan baik. Dalam hal
melindungi lingkungan
hidup, kita sebagai warga negara Indonesia yang merupakan negara hukum hendaknya
melindungi alam dan lingkungan kita dengan berlandaskan hukum dan peraturan
pemerintah yang sudah ditetapkan.
Kegiatan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup seperti itu
merupakan salah satu upaya yang bertujuan untuk melindungi dan mengelola
lingkungan hidup yang berdasarkan pada peraturan yang sudah ditetapkan pemerintah
dan norma-norma hukum lingkungan sehingga lingkungan hidup akan seimbang antara
kepentingan ekonomi, pelestarian lingkungan hidup dan kondisi sosial
masyarakat.

Nasib Burung Cucak Rawa (Pycnonotus zeylanicus) Rentan Dari Kepunahan
(Mahasiswa S2 Ilmu Lingkungan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto)
Hampir semua orang mengenal lagu Cucok Rowo yang dipopulerkan oleh mendiang penyanyi campursari Didi Kempot. Lagu ini bertema plesetan komedi campuran bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, dimana menyebutkan “cucak rowo” dengan cara menghibur. Tapi, tahukan Anda saat ini status burung ini terancam kritis karena perburuan dan perdagangan untuk dijadikan burung koleksi atau burung perlombaan. Inilah nasib burung Cucak Rawa (Pycnonotus zeylanicus) yang dewasa ini telah rentan dari kepunahan keberadaannya di alam liar.
Sebelum membahasnya lebih jauh, kita harus mengenal apa itu burung Cucak Rawa. Cucak Rawa adalah jenis burung pengicau dari suku Pycnonotidae. Burung ini juga dikenal umum sebagai Cucak Rawa (dalam bahasa Jawa dilafazkan sebagai Cucok Rowo), Cangkurawah (Sunda), dan Barau-barau (Melayu).
Dalam bahasa Inggris disebut Straw-headed Bulbul, mengacu pada warna kepalanya yang kuning-jerami pucat. Nama ilmiahnya adalah Pycnonotus zeylanicus.
Taksonomi Cucak rawa
Kerajaan : Animilia
Filum : Chordata
Kelas : Aves
Ordo : Passeriformes
Famili : Pycnonotidae
Genus : Pycnonotus
Species : P. seylanicus
Ciri-ciri
Burung yang berukuran sedang, panjang tubuh total (diukur dari ujung paruh hingga ujung ekor) sekitar 28 cm. Mahkota (sisi atas kepala) dan penutup telinga berwarna jingga atau kuning-jerami pucat; setrip malar di sisi dagu dan garis kekang yang melintasi mata berwarna hitam.
Punggung coklat zaitun bercoret-coret putih, sayap dan ekor kehijauan atau hijau coklat-zaitun. Dagu dan tenggorokan putih atau keputihan; leher dan dada abu-abu bercoret putih; perut abu-abu, dan pantat kuning. Iris mata berwarna kemerahan, paruh hitam, dan kaki coklat gelap.
Kebiasaan dan Penyebaran
Seperti namanya, cucak rawa biasa ditemukan di paya-paya dan rawa-rawa di sekitar sungai, atau di tepi hutan. Sering bersembunyi di balik dedaunan dan hanya terdengar suaranya yang khas. Suara lebih berat dan lebih keras dari umumnya cucak dan merbah. Siulan jernih, jelas, berirama baku yang merdu. Kerap kali terdengar bersahut-sahutan.
Di alam, burung ini memangsa aneka serangga, siput air, dan berbagai buah-buahan yang lunak seperti buah jenis-jenis beringin. Menyebar di dataran rendah dan perbukitan di Semenanjung Malaya, Sumatra (termasuk Nias), Kalimantan, dan Jawa bagian barat. Di Jawa Barat terdapat sampai ketinggian 800 m dpl., namun kini dianggap punah karena perburuan.
Permasalahan Perlindungan
Cucak Rawa sebenarnya sempat termasuk ke dalam daftar jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 20 tahun 2018. Pada tahun yang sama Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan PerMen LHK Nomor 92 Tahun 2018 dengan dikeluarkan dari status burung Cucak Rawa sebagai satwa yang dilindungi menjadi tidak lagi dilindungi.
Perubahan status ini berbarengan dengan burung-burung lain seperti Murai batu (Kittacinla malabarica), Jalak suren (Gracupica jalla), Anis-bentet kecil (Colluricincla megarhyncha), dan Anis-bentet sangihe (Coracornis sanghirensis). Murai batu, Cucak rawa, dan Jalak suren merupakan jenis burung kicau yang biasa dilombakan, sedangkan untuk Anis bentet sangihe dan Anis bentet kecil merupakan jenis burung endemik.
Dalam IUCN (International Union for Conservation of Nature) Red list burung ini mempunyai status rentan (vulnerable), sedangkan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) memasukkan burung ini dalam daftar Apendiks II.
Keberadaan
Di Indonesia burung ini memiliki 27 jenis dan wilayah yang paling banyak adalah di Indonesia bagian barat. Hingga saat ini ada 2 spesies yang menyebar hingga ke Sulawesi dan Lombok. Ada pula spesies yang menyebar hingga ke Maluku yaitu yakni Lophoixus affinis (Brinji emas).
Burung yang berumur sekitar jutaan tahun ini telah berkembang menjadi sembilan subspesies yang berbeda. Misalnya P. bimaculatus (Cucak Gunung), P. plumosus (Merbah Belukar), Alophoixus bres (Empuloh Janggut), P. melanicterus (Cucak Kuning), P. aurigaster (Cucak Kutilang), dan P. goiavier (Merbah cerukcuk).
Burung yang masih kerabat kutilang ini, dulunya dapat ditemukan di hutan-hutan pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Namun menurut Mckinnon dkk., kini burung tersebut telah punah di alam Jawa. Jadi, sudah tidak dapat lagi menjumpai Cucak Rawa liar di hutan-hutaan pulau Jawa. Kepunahannya disebabkan oleh perburuan tak berbatas yang dilakukan untuk tujuan ekonomi.
Pada daerah sumatera sendiri, jumlahnya telah sangat terbatas di hutan-hutan terpencil. Untungnya di Kalimantan jumlahnya masih lebih banyak daripada Sumatera. Burung ini dapat ditemukan di hutan-hutan yang jauh dari pemukiman. Namun, apabila perburuan terus dilakukan, tidak menutup kemungkinan Cucak Rawa ini benar-benar akan punah dari seluruh alam Indonesia.
Untuk menghindari kepunahan Cucak Rawa dari alam Indonesia, ada baiknya para pemburu berlatih untuk mengembangbiakkan burung ini dalam penangkaran. Walaupun burung ini mudah stres saat diternakkan, namun beberapa peternak telah berhasil mengembangbiakkan Cucak Rawa di penangkaran. Dengan keberhasilan penangkaran diharapkan jumlah Cucak Rawa di alam tidak berkurang lagi dan dapat berkembang menjadi lebih banyak di masa yang akan datang.
Kesimpulan
Kondisi jumlah burung Cucak Rawa yang kritis (bahkan di alam liar pulau Jawa sudah punah) agar menjadi perhatian pemerintah terutama Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar merevisi atau membuat peraturan yang memasukan burung ini kembali dengan status dilindungi.
Langkah-langkah strategis perlu dilakukan dalam menyelamatkan burung Cucak Rawa, yaitu dengan melakukan penangkaran yang sistematis dan penambahan jumlah species burung ini dan kemudian dikembalikan ke alam liar habitat-habitat aslinya yang dulu pernah ada.***
(Mahasiswa S2 Ilmu Lingkungan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto)
Hampir semua orang mengenal lagu Cucok Rowo yang dipopulerkan oleh mendiang penyanyi campursari Didi Kempot. Lagu ini bertema plesetan komedi campuran bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, dimana menyebutkan “cucak rowo” dengan cara menghibur. Tapi, tahukan Anda saat ini status burung ini terancam kritis karena perburuan dan perdagangan untuk dijadikan burung koleksi atau burung perlombaan. Inilah nasib burung Cucak Rawa (Pycnonotus zeylanicus) yang dewasa ini telah rentan dari kepunahan keberadaannya di alam liar.
Sebelum membahasnya lebih jauh, kita harus mengenal apa itu burung Cucak Rawa. Cucak Rawa adalah jenis burung pengicau dari suku Pycnonotidae. Burung ini juga dikenal umum sebagai Cucak Rawa (dalam bahasa Jawa dilafazkan sebagai Cucok Rowo), Cangkurawah (Sunda), dan Barau-barau (Melayu).
Dalam bahasa Inggris disebut Straw-headed Bulbul, mengacu pada warna kepalanya yang kuning-jerami pucat. Nama ilmiahnya adalah Pycnonotus zeylanicus.
Taksonomi Cucak rawa
Kerajaan : Animilia
Filum : Chordata
Kelas : Aves
Ordo : Passeriformes
Famili : Pycnonotidae
Genus : Pycnonotus
Species : P. seylanicus
Ciri-ciri
Burung yang berukuran sedang, panjang tubuh total (diukur dari ujung paruh hingga ujung ekor) sekitar 28 cm. Mahkota (sisi atas kepala) dan penutup telinga berwarna jingga atau kuning-jerami pucat; setrip malar di sisi dagu dan garis kekang yang melintasi mata berwarna hitam.
Punggung coklat zaitun bercoret-coret putih, sayap dan ekor kehijauan atau hijau coklat-zaitun. Dagu dan tenggorokan putih atau keputihan; leher dan dada abu-abu bercoret putih; perut abu-abu, dan pantat kuning. Iris mata berwarna kemerahan, paruh hitam, dan kaki coklat gelap.
Kebiasaan dan Penyebaran
Seperti namanya, cucak rawa biasa ditemukan di paya-paya dan rawa-rawa di sekitar sungai, atau di tepi hutan. Sering bersembunyi di balik dedaunan dan hanya terdengar suaranya yang khas. Suara lebih berat dan lebih keras dari umumnya cucak dan merbah. Siulan jernih, jelas, berirama baku yang merdu. Kerap kali terdengar bersahut-sahutan.
Di alam, burung ini memangsa aneka serangga, siput air, dan berbagai buah-buahan yang lunak seperti buah jenis-jenis beringin. Menyebar di dataran rendah dan perbukitan di Semenanjung Malaya, Sumatra (termasuk Nias), Kalimantan, dan Jawa bagian barat. Di Jawa Barat terdapat sampai ketinggian 800 m dpl., namun kini dianggap punah karena perburuan.
Permasalahan Perlindungan
Cucak Rawa sebenarnya sempat termasuk ke dalam daftar jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 20 tahun 2018. Pada tahun yang sama Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan PerMen LHK Nomor 92 Tahun 2018 dengan dikeluarkan dari status burung Cucak Rawa sebagai satwa yang dilindungi menjadi tidak lagi dilindungi.
Perubahan status ini berbarengan dengan burung-burung lain seperti Murai batu (Kittacinla malabarica), Jalak suren (Gracupica jalla), Anis-bentet kecil (Colluricincla megarhyncha), dan Anis-bentet sangihe (Coracornis sanghirensis). Murai batu, Cucak rawa, dan Jalak suren merupakan jenis burung kicau yang biasa dilombakan, sedangkan untuk Anis bentet sangihe dan Anis bentet kecil merupakan jenis burung endemik.
Dalam IUCN (International Union for Conservation of Nature) Red list burung ini mempunyai status rentan (vulnerable), sedangkan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) memasukkan burung ini dalam daftar Apendiks II.
Keberadaan
Di Indonesia burung ini memiliki 27 jenis dan wilayah yang paling banyak adalah di Indonesia bagian barat. Hingga saat ini ada 2 spesies yang menyebar hingga ke Sulawesi dan Lombok. Ada pula spesies yang menyebar hingga ke Maluku yaitu yakni Lophoixus affinis (Brinji emas).
Burung yang berumur sekitar jutaan tahun ini telah berkembang menjadi sembilan subspesies yang berbeda. Misalnya P. bimaculatus (Cucak Gunung), P. plumosus (Merbah Belukar), Alophoixus bres (Empuloh Janggut), P. melanicterus (Cucak Kuning), P. aurigaster (Cucak Kutilang), dan P. goiavier (Merbah cerukcuk).
Burung yang masih kerabat kutilang ini, dulunya dapat ditemukan di hutan-hutan pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Namun menurut Mckinnon dkk., kini burung tersebut telah punah di alam Jawa. Jadi, sudah tidak dapat lagi menjumpai Cucak Rawa liar di hutan-hutaan pulau Jawa. Kepunahannya disebabkan oleh perburuan tak berbatas yang dilakukan untuk tujuan ekonomi.
Pada daerah sumatera sendiri, jumlahnya telah sangat terbatas di hutan-hutan terpencil. Untungnya di Kalimantan jumlahnya masih lebih banyak daripada Sumatera. Burung ini dapat ditemukan di hutan-hutan yang jauh dari pemukiman. Namun, apabila perburuan terus dilakukan, tidak menutup kemungkinan Cucak Rawa ini benar-benar akan punah dari seluruh alam Indonesia.
Untuk menghindari kepunahan Cucak Rawa dari alam Indonesia, ada baiknya para pemburu berlatih untuk mengembangbiakkan burung ini dalam penangkaran. Walaupun burung ini mudah stres saat diternakkan, namun beberapa peternak telah berhasil mengembangbiakkan Cucak Rawa di penangkaran. Dengan keberhasilan penangkaran diharapkan jumlah Cucak Rawa di alam tidak berkurang lagi dan dapat berkembang menjadi lebih banyak di masa yang akan datang.
Kesimpulan
Kondisi jumlah burung Cucak Rawa yang kritis (bahkan di alam liar pulau Jawa sudah punah) agar menjadi perhatian pemerintah terutama Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar merevisi atau membuat peraturan yang memasukan burung ini kembali dengan status dilindungi.
Langkah-langkah strategis perlu dilakukan dalam menyelamatkan burung Cucak Rawa, yaitu dengan melakukan penangkaran yang sistematis dan penambahan jumlah species burung ini dan kemudian dikembalikan ke alam liar habitat-habitat aslinya yang dulu pernah ada.***
(Mahasiswa S2 Ilmu Lingkungan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto)
Hampir semua orang mengenal lagu Cucok Rowo yang dipopulerkan oleh mendiang penyanyi campursari Didi Kempot. Lagu ini bertema plesetan komedi campuran bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, dimana menyebutkan “cucak rowo” dengan cara menghibur. Tapi, tahukan Anda saat ini status burung ini terancam kritis karena perburuan dan perdagangan untuk dijadikan burung koleksi atau burung perlombaan. Inilah nasib burung Cucak Rawa (Pycnonotus zeylanicus) yang dewasa ini telah rentan dari kepunahan keberadaannya di alam liar.
Sebelum membahasnya lebih jauh, kita harus mengenal apa itu burung Cucak Rawa. Cucak Rawa adalah jenis burung pengicau dari suku Pycnonotidae. Burung ini juga dikenal umum sebagai Cucak Rawa (dalam bahasa Jawa dilafazkan sebagai Cucok Rowo), Cangkurawah (Sunda), dan Barau-barau (Melayu).
Dalam bahasa Inggris disebut Straw-headed Bulbul, mengacu pada warna kepalanya yang kuning-jerami pucat. Nama ilmiahnya adalah Pycnonotus zeylanicus.
Taksonomi Cucak rawa
Kerajaan : Animilia
Filum : Chordata
Kelas : Aves
Ordo : Passeriformes
Famili : Pycnonotidae
Genus : Pycnonotus
Species : P. seylanicus
Ciri-ciri
Burung yang berukuran sedang, panjang tubuh total (diukur dari ujung paruh hingga ujung ekor) sekitar 28 cm. Mahkota (sisi atas kepala) dan penutup telinga berwarna jingga atau kuning-jerami pucat; setrip malar di sisi dagu dan garis kekang yang melintasi mata berwarna hitam.
Punggung coklat zaitun bercoret-coret putih, sayap dan ekor kehijauan atau hijau coklat-zaitun. Dagu dan tenggorokan putih atau keputihan; leher dan dada abu-abu bercoret putih; perut abu-abu, dan pantat kuning. Iris mata berwarna kemerahan, paruh hitam, dan kaki coklat gelap.
Kebiasaan dan Penyebaran
Seperti namanya, cucak rawa biasa ditemukan di paya-paya dan rawa-rawa di sekitar sungai, atau di tepi hutan. Sering bersembunyi di balik dedaunan dan hanya terdengar suaranya yang khas. Suara lebih berat dan lebih keras dari umumnya cucak dan merbah. Siulan jernih, jelas, berirama baku yang merdu. Kerap kali terdengar bersahut-sahutan.
Di alam, burung ini memangsa aneka serangga, siput air, dan berbagai buah-buahan yang lunak seperti buah jenis-jenis beringin. Menyebar di dataran rendah dan perbukitan di Semenanjung Malaya, Sumatra (termasuk Nias), Kalimantan, dan Jawa bagian barat. Di Jawa Barat terdapat sampai ketinggian 800 m dpl., namun kini dianggap punah karena perburuan.
Permasalahan Perlindungan
Cucak Rawa sebenarnya sempat termasuk ke dalam daftar jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 20 tahun 2018. Pada tahun yang sama Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan PerMen LHK Nomor 92 Tahun 2018 dengan dikeluarkan dari status burung Cucak Rawa sebagai satwa yang dilindungi menjadi tidak lagi dilindungi.
Perubahan status ini berbarengan dengan burung-burung lain seperti Murai batu (Kittacinla malabarica), Jalak suren (Gracupica jalla), Anis-bentet kecil (Colluricincla megarhyncha), dan Anis-bentet sangihe (Coracornis sanghirensis). Murai batu, Cucak rawa, dan Jalak suren merupakan jenis burung kicau yang biasa dilombakan, sedangkan untuk Anis bentet sangihe dan Anis bentet kecil merupakan jenis burung endemik.
Dalam IUCN (International Union for Conservation of Nature) Red list burung ini mempunyai status rentan (vulnerable), sedangkan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) memasukkan burung ini dalam daftar Apendiks II.
Keberadaan
Di Indonesia burung ini memiliki 27 jenis dan wilayah yang paling banyak adalah di Indonesia bagian barat. Hingga saat ini ada 2 spesies yang menyebar hingga ke Sulawesi dan Lombok. Ada pula spesies yang menyebar hingga ke Maluku yaitu yakni Lophoixus affinis (Brinji emas).
Burung yang berumur sekitar jutaan tahun ini telah berkembang menjadi sembilan subspesies yang berbeda. Misalnya P. bimaculatus (Cucak Gunung), P. plumosus (Merbah Belukar), Alophoixus bres (Empuloh Janggut), P. melanicterus (Cucak Kuning), P. aurigaster (Cucak Kutilang), dan P. goiavier (Merbah cerukcuk).
Burung yang masih kerabat kutilang ini, dulunya dapat ditemukan di hutan-hutan pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Namun menurut Mckinnon dkk., kini burung tersebut telah punah di alam Jawa. Jadi, sudah tidak dapat lagi menjumpai Cucak Rawa liar di hutan-hutaan pulau Jawa. Kepunahannya disebabkan oleh perburuan tak berbatas yang dilakukan untuk tujuan ekonomi.
Pada daerah sumatera sendiri, jumlahnya telah sangat terbatas di hutan-hutan terpencil. Untungnya di Kalimantan jumlahnya masih lebih banyak daripada Sumatera. Burung ini dapat ditemukan di hutan-hutan yang jauh dari pemukiman. Namun, apabila perburuan terus dilakukan, tidak menutup kemungkinan Cucak Rawa ini benar-benar akan punah dari seluruh alam Indonesia.
Untuk menghindari kepunahan Cucak Rawa dari alam Indonesia, ada baiknya para pemburu berlatih untuk mengembangbiakkan burung ini dalam penangkaran. Walaupun burung ini mudah stres saat diternakkan, namun beberapa peternak telah berhasil mengembangbiakkan Cucak Rawa di penangkaran. Dengan keberhasilan penangkaran diharapkan jumlah Cucak Rawa di alam tidak berkurang lagi dan dapat berkembang menjadi lebih banyak di masa yang akan datang.
Kesimpulan
Kondisi jumlah burung Cucak Rawa yang kritis (bahkan di alam liar pulau Jawa sudah punah) agar menjadi perhatian pemerintah terutama Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar merevisi atau membuat peraturan yang memasukan burung ini kembali dengan status dilindungi.
Langkah-langkah strategis perlu dilakukan dalam menyelamatkan burung Cucak Rawa, yaitu dengan melakukan penangkaran yang sistematis dan penambahan jumlah species burung ini dan kemudian dikembalikan ke alam liar habitat-habitat aslinya yang dulu pernah ada.***